Video Discription |
Gara-gara si Tugimin penjual burung dalang G30S PKI pun tersingkap. Begitulah yang terjadi. Seperti diketahui, setelah Gerakan 30 September gagal karena dengan cepat ditumpas oleh Angkatan Darat yang dimotori Pangkostrad saat itu Mayjen Soeharto, penangkapan demi penangkapan kepada para pelaku dan orang-orang yang mendukung gerakan itu gencar dilakukan.
Mengutip buku,"Mendung di Atas Istana Merdeka," yang ditulis Atmadji Sumarkidjo, pada tahap awal, pemeriksaan dilakukan secara intensif terhadap para tokoh militer yang menjadi pelaku gerakan. Menurut keterangan Mayjen Purnawirawan CPM, Tahir pada pemeriksaan awal ini, tim pemeriksa yang dibentuk tidak langsung menunjuk kepada PKI. Mayjen Tahir adalah mantan Wakil Ketua Tim Pemeriksa Pusat yang dibentuk khusus untuk memeriksa para pelaku Gerakan 30 September. Ketika itu Tahir masih berpangkat Letnan Kolonel CPM.
"Seperti diketahui, Letnan Kolonel Untung tertangkap secara kebetulan oleh Hansip di Tegal yang mengiranya mula-mula sebagai pencopet pada tanggal 11 Oktober 1965. Tetapi pengakuan Untung dalam pemeriksaan dan pengetahuan para pemeriksa sendiri baru satu pihak saja," tulis Atmadji Sumarkidjo.
Jadi menurut keterangan Mayjen Tahir, walaupun tertangkap sejumlah besar anggota ABRI yang bertanggung jawab atas tindakan pada 1 Oktober 1965, namun tidak banyak menolong bagi Jenderal Soeharto untuk mendapatkan bukti hukum mengenai keterlibatan PKI. Masih menurut Mayor Jenderal Purnawirawan Tahir, hal itu disebabkan selain orang-orang seperti Untung, pada awalnya tidak ada seorang pun tokoh pimpinan PKI, anggota CC PKI atau anggota Politbiro serta pimpinan-pimpinan berbagai organisasi di bawah payung PKI yang bisa ditangkap.
Lebih sulit lagi, orang-orang yang dicurigai dan ditangkap pada tahap awal amat teguh melakukan Gerakan Tutup Mulut.
"Beruntunglah pada suatu kunjungan Letnan Kolonel Ali Said SH, Letnan Kolonel Durmawel Achmad SH dan Letnan Kolonel Datuk Mulia SH ke Rumah Tahanan Salemba, awal November 1965, secara kebetulan mereka memergoki seorang yang dicurigai yang mengaku sebagai pedagang burung di Pasar Burung Djatinegara, dan hampir saja dilepaskan," tulis Atmadji Sumarkidjo dalam bukunya.
Ketika si pedagang burung itu menandatangani surat pengeluaran, dia lupa dengan penyamarannya. Si pedagang burung itu lalu menuliskan namanya yang asli. Dia menulis Nyono.
"Ketahuanlah, kalau ia memang Nyono Sastroredjo alias Tugimin alias Rukma, Ketua Committee Daerah Djakarta Raya sekaligus anggota DPRGR/ MPRS dan anggota Politbiro CC PKI," tulis Atmadji Sumarkidjo.
Penangkapan tersebut menurut Atmadji Sumarkidjo, kebetulan dan di luar dugaan. Sehingga ketika itu Letkol Durmawel menyebutkannya sebagai “petunjuk dari Tuhan."
Ketiga perwira tersebut tentu saja tidak mau membuang kesempatan itu. “Saya katakan kepada Datuk dan Ali Said, kita sedang mencari seorang tokoh pimpinan PKI yang memimpin G30S tetapi ia tertangkap di depan kita,” kata Letkol Durmawel saat itu.
Menurut Letkol Durmawel, interogasi yang dilakukan secara intensif terhadap Nyono, akhirnya banyak mengungkap hal-hal yang masih merupakan misteri bagi ABRI, seperti isu Dewan Jenderal yang hendak melancarkan kudeta, sakitnya Presiden Soekarno dan rencana gerakan. Banyak hal terungkap dari pemeriksaan Nyono.
Pernyataan dan pengakuan Nyono kemudian dilaporkan kepada Brigjen Sutjipto SH, Ketua G-5 Koti. Menurut cerita Mayjen Tahir, hasilnya dilaporkan langsung kepada Jenderal Soeharto selaku Panglima Kopkamtib, dan Soeharto konon juga melaporkan langsung kepada Bung Karno bahwa gerakan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung itu diatur dan didalangi oleh PKI.
Berbareng dengan laporan hasil pemeriksaan Nyono, Letkol Ali Said meminta kepada Tahir untuk membentuk sebuah tim yang kompak, untuk memeriksa, menyimpulkan dan mengajukan ke pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa para terdakwa yang dianggap sebagai tokoh G30S.
Mahkamah Militer Luar Biasa sendiri baru terbentuk pada bulan Desember 1965, setelah Soeharto diyakinkan bahwa tim pemeriksa sudah mengumpulkan cukup banyak bukti hukum mengenai keterlibatan PKI dalam kudeta tersebut.
Walaupun seluruh proses kelihatannya berjalan cukup lancar, karena Presiden Soekarno pun enggan turut campur dalam proses itu, tetapi Soeharto memang tidak mempunyai cukup waktu leluasa untuk mengajukan orang-orang yang dianggap tokoh-tokoh PKI itu ke pengadilan, karena ia sadar perlu kekuatan hukum yang relatif bisa diterima oleh dunia untuk itu.
Menurut Atmadji Sumarkidjo, Tahir-lah yang kemudian mengurai simpul-simpul rumit dalam proses pengajuan seseorang ke pengadilan, antara lain sejak pemeriksaan pertama, pihak kepolisian dan pemeriksa serta calon jaksa penuntut umum terlibat dalam seluruh proses pemeriksaan.
“Langkah ini saya ambil, karena dalam proses yang biasa, seringkali pihak kejaksaan mengembalikan Proses Verbal ke polisi, dan ini bisa menjadi hambatan," kata Tahir seperti dikutip Atmadji Sumarkidjo dalam bukunya. 4BKH8rvfa8c |